Oleh: Roy Fachraby Ginting
Akademisi Universitas Sumatera Utara
Keserakahan dan ketamakan para elit politik yang selalu ingin mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya sudah mencapai titik nadir. Sikap dan perilaku para elit ini mengubah kekayaan alam menjadi duka yang mendalam. Kekejian yang selalu mereka bungkus dengan kata ‘seolah-olah’ itu menyulitkan Masyarakat untuk menilainya apakah penyelamat atau atau pemahat, dalam arti memecah atau merusak.
Nafsu yang kuat untuk menguasai itu membuat mereka merasa tidak pernah cukup dan sulit bersyukur, tanpa memerdulikan hak-hak orang lain. Rampas dan rampok lagi. Acap kali mereka bilang ‘berbagilah, tetapi mereka sendiri tidak mau berbagi. Bayarlah pajakmu, tetapi mereka semua pengemplang pajak’.
Di Republik ini, kecintaan terhadap harta telah menggelincirkan banyak pemimpin, baik di pusat kekuasaan maupun di Daerah. Para elit politik kita sering kali memperlihatkan gaya hidup mewah, bertentangan dengan kondisi rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Mobil-mobil mewah dan gaya hidup hedonis menjadi pemandangan biasa di kalangan pejabat, sementara pelayanan kesehatan masyarakat, seperti BPJS, ibarat pepatah jauh panggang dari api.
Para elit politik berlomba-lomba merebut kekuasaan atas nama demokrasi. Mereka menguasai partai politik dan menggunakan uang untuk membeli suara rakyat, meraih jabatan, dan membangun dinasti politik. Bagi mereka, kekuasaan adalah cara untuk memperkaya diri, sering kali dengan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada Korupsi dan Nepoteisme.
Banyak dari elit politik ini telah tergelincir dalam penyalahgunaan kekuasaan, menguasai izin tambang, dan membangun jaringan kekuasaan yang melibatkan anggota keluarga. Mereka menempatkan anak, menantu, bahkan cucu di posisi penting baik di eksekutif maupun legislatif, tanpa memperhatikan etika, moral, dan rasa malu.
Dalam situasi ini, kita diingatkan akan pernyataan Mahatma Gandhi tentang “tujuh dosa sosial,” yaitu politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan.
Dua di antaranya, yaitu “kekayaan tanpa kerja keras” dan “kesenangan tanpa nurani,” menjadi biang dari ketamakan dan kerakusan yang menyebabkan korupsi dan kehancuran bangsa.
Contoh nyata bisa dilihat pada Negara seperti Nauru, yang dulu kaya karena hasil tambang fosfat. Namun, kerakusan dan eksploitasi yang tidak terkendali membuat sumber daya mereka habis, dan pada akhirnya Negara itu jatuh miskin. Krisis keuangan yang parah membuat Nauru terpaksa menjual izin perbankan dan paspor diplomatik, menjadi surga pencucian uang.
Kisah Nauru seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita. Ketamakan adalah sumber penderitaan, dosa sosial yang lahir dari kekayaan tanpa kerja keras dan kesenangan tanpa nurani. Apa yang dibutuhkan untuk menghentikan ketamakan dan kerakusan ini? Jawabannya sederhana: penegakan hukum yang tegas, hukuman keras yang berefek jera, serta kesadaran spiritual tentang pentingnya merasa cukup.
Jika tidak, ketamakan dan kerakusan akan terus menjamur, merusak hati, jiwa, dan pada akhirnya menghancurkan bangsa. Korupsi dan Nepotisme akan merajalela, bukan dilakukan bukan oleh mereka yang kekurangan, melainkan oleh mereka yang selalu merasa kurang, meskipun harta mereka melimpah. Tidak ada yang lebih buruk daripada membiarkan ketamakan bertumbuh dalam hati, karena dari sanalah kehancuran suatu bangsa dimulai.