Penulis : Roy Fachraby Ginting, Dosen USU
Minimnya pemimpin dan calon pemimpin yang tauladan, menjadi kekhawatiran tersendiri akan masa depan bangsa Indonesia kedepan, terutama dalam beberapa minggu terakhir. sebuah tontonan yang menyesakkan dada dan tentunya memuakkan. Moral anak bangsa seolah direpresentasikan oleh satu atau beberapa orang saja. Padahal, jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 270 juta jiwa.
Tidak hanya itu, sejumlah Calon Kepala Daerah (Cakada) yang berkontestasi ini juga miskin moral dan etika. Sebab, banyak diantara para Calon Kepala Daerah (Cakada) itu terlibat dalam beberapa persoalan moral, seperti perselingkuhan, perjudian, mabuk dan korupsi. Empat sehat, lima sempurna kata rekan saya Dr Bakhrul Khair Amal yang menyebut Korupsi Kolusi dan Nepoteisme (KKN) sebagai penyempurnanya. Tentu ini sangat menyayat hati. Ibarat sebuah masakan, bahan mentahnya adalah perselingkuhan, perjudian dan mabuk, sementara KKN nya adalah bumbu penyedap yang memperkaya citarasa masakan itu.
Hukum seperti dagelan, mengapa saya sebut dagelan, karena setiap daerah berbeda-beda hukumnya meskipun produk Undang-Undang (UU) nya lahir dai Senayan. Sebab, seorang terdakwa yang duduk di Kursi pesakitan, di Daerah Bali, diancam penjara selama Lima Tahun dan denda Rp100 juta karena memelihara Landak Jawa, dilain sisi seorang koruptor Timah dipenjara Tiga Tahun dan denda Rp5000. Dengan kata lain, pembohong akan dikelilingi para pendusta, disanjung para pengkhianat, dan didoakan para munafik. Benarkah ini terjadi? Semoga saja aku salah menilai.
Hal ini semakin menambah citarasa akan kesempurnaan kerusakan alam Politik dan Hukum. Seolah menegasikan suatu kebenaran dan bahwa benar moral anak bangsa sedang rusak? Sorotan tajam tentu mengarah pada akademisi, Dosen dan Pengajar serta pemuka Agama. Jika dibuat suatu pertanyaan, apa yang diajarkan oleh para akademisi dan pengajar dikampus? Lantas, apapula yang dilakukan oleh para pemuka Agama? Apakah mereka turut menikmati keadaan ini? Apakah mereka senang bangsa ini kiris keteladanan dan moral? Hal ini ibarat dua sisi dari satu keping mata uang yang saling berkaitan dan tidak bisa berdiri sendirian.
Mungkin, jika ditanyakan kepada para pemuka Agama dan Akademisi tidak ada yang menyebut itu baik dan menginginkannya. Yang pasti, masyarakat akan menilai dan menyimpulkan dari suatu perbuatan, perilaku dan kenyataan benar atau tidak benar.
Semangat kemerdekaan dari tokoh bangsa seperti H. Agus Salim yang dikenal jenius dengan menguasai sembilan bahasa dan selalu juara di kelasnya seharusnya menjadi contoh bagi pemimpin dan Cakada yang akan memimpin lima tahun kedepan. Ketokohan Agus Salim terlihat sejak usia muda dia berani menolak beasiswa dari Belanda kala itu. Agus Salim menolak beasiswa tersebut karena merasa bukan karena jerih payahnya. Sikap ini sulit dibayangkan di masa kini, ketika banyak sarjana yang lulus bukan dari usahanya sendiri, menggunakan joki atau membeli ijazah.
Sikap berintegritas ini juga ditunjukkan ketika menjabat bertitel menteri dan pejabat Negara, Agus Salim sengaja hidup dalam kesederhanaan. Rumahnya mengontrak, atapnya bocor jika hujan tiba, namun Agus Salim tetap pada prinsipnya. (Willem Schermerhorn, seorang pejabat Belanda, dalam Het dagboek van Schermerhorn saat mengomentari kebersahajaan H. Agus Salim, dalam catatan buku harian Harian Schermerhorn). Adakah putra bangsa seperti H Agus Salim saat ini? Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang.